Monday, June 4, 2012

Langka, Transit Venus Jadi Acuan Jarak Matahari,Siap Menonton Transit Venus 06-06/2012?

Ketika kapal Endeavour pelaut asal Inggris, James Cook, merapat di Batavia pada 1770, Johan Maurits Mohr dan Cook saling bertukar data pengamatan transit Venus. "Sepasang transit di abad ke-18 ini belum memberikan kepastian jarak matahari," kata Odenwald. "Peralatan pengukuran waktu itu belum canggih benar."

Setelah menunggu lebih dari satu abad, astronom memanfaatkan transit Venus pada 1874 dan 1882. Ketika itu dunia telah mengenal fotografi sehingga pergerakan Venus bisa direkam menggunakan kamera.

Peralatan canggih ini memudahkan ahli astronomi mencatat posisi Venus di depan matahari berikut waktunya. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa jarak matahari adalah 152 juta kilometer. Angka ini meleset tipis dibandingkan dengan pengukuran menggunakan radar yang menyebutkan matahari berjarak 149 juta kilometer dari bumi.

Pada abad ke-19, transit Venus mulai menjadi perhatian masyarakat. Di Amerika, masyarakat menggunakan kaca yang digelapkan untuk menatap matahari dan noktah hitam. Jumlah orang yang menyaksikan transit pun membengkak dibanding fenomena sebelumnya. Transit Venus pun menjadi tontonan masyarakat di seluruh dunia.

Jakarta Pernah Jadi Lokasi Pemantauan Venus


Transit Venus pada 1761 menjadi kesempatan pertama pengukuran jarak matahari. Astronom di Eropa dan Amerika menyebar ke berbagai lokasi sambil membopong teleskop canggih yang mereka miliki, termasuk ke Indonesia.

Ketika itu, Pulau Sumatera menjadi tempat terbaik untuk melakukan pengamatan Venus. Astronom Inggris, Charles Mason dan Jeremiah Dixon, berlayar dari Porstmouth menuju Pulau Andalas. Sayangnya, kapal mereka dicegat dan dirusak oleh pelaut Prancis sehingga beberapa awak kapal terbunuh dalam penyerangan itu.

Meski pelayaran masih bisa dilanjutkan, misi terhenti di Cape of Good Hope, Afrika Selatan, karena mereka mendapat kabar Sumatera sudah dikuasai Prancis. Observasi transit terpaksa dilakukan di Afrika Selatan.

Pengamatan justru berhasil dilakukan di Batavia. Ketika itu Gerrit de Haan, Pieter Jan Soele, dan Johan Maurits Mohr mengamati transit dari Jakarta bermodalkan dua teleskop cermin. Pengamatan berlangsung sukses dan hasilnya dilaporkan Mohr dalam karya ilmiah yang terbit dua tahun kemudian. Transit pada 1761 disaksikan oleh 176 orang di seluruh dunia.

Sukses mengamati transit Venus pada 1761, Johan Maurits Mohr mempunyai waktu delapan tahun untuk menyiapkan peralatan pengamatan di Batavia. Ia membangun observatorium pribadi di kawasan yang kini dikenal sebagai Petak Sembilan.

Observatorium Mohr dilengkapi dengan teleskop paling canggih dari Eropa. Dengan teleskop ini, selama dua jam, ia menyaksikan Venus bergerak di depan matahari pada transit 1769.
Siap Menonton Transit Venus?
Transit pada Rabu nanti akan disaksikan dari berbagai wilayah Indonesia. Venus mulai masuk ke dalam piringan matahari sejak pukul 07.09 WIT dari daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua. Di Bali dan Kalimantan bagian timur, transit bisa disaksikan sejak pukul 06.09 Wita.

Sementara itu, di Sumatera dan Jawa, transit sudah terjadi sejak pukul 05.09 WIB, ketika itu matahari belum terbit. Karenanya, penduduk Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya harus menunggu matahari terbit di Rabu pagi agar bisa menyaksikan transit. Di kota-kota ini, matahari terbit bersama noktah hitam di wajahnya.

Untuk menyaksikan transit, masyarakat diminta menggunakan filter dari kertas mylar. Cahaya matahari yang sangat kuat bisa membakar mata jika dilihat langsung.

Cara aman lain untuk menyaksikan transit adalah membuat kamera lubang jarum. Lubang pada kamera ini memproyeksikan matahari dan Venus ke layar. Bayangan pada layar memiliki intensitas cahaya kecil sehingga tak akan merusak mata.

Teleskop pun bisa dipakai untuk mengamati matahari. Namun filter khusus harus diletakkan di depan teleskop. Filter ini berguna sebagai penapis cahaya. "Gunakan filter jika tak ingin mata anda menjadi arang," ujar Ahli astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Sten Odenwald.

No comments:

Post a Comment